Aku baru saja selesai membaca
sebuah kisah nyata di majalah online, kisah tentang teganya seorang kakek yang
menjual cucunya demi uang. Kisah itu membuatku jadi teringat pada opungku yang sudah
lama ku lupakan.
Opung, panggilan untuk kakek atau nenek
dalam suku batak, dan aku terlahir dari keluarga bersuku batak, bermarga Harahap.
Semua orang pasti punya opung, dan masing-masing punya kisah tersendiri dan
kenangan tersendiri tentang opungnya. Opung merupakan sosok yang selalu menjadi
panutan setelah orangtua. Opung juga selalu mempunyai kasih sayang yang
berlebih kepada cucu-cucunya dibanding kepada anak-anaknya sendiri. Bagi seorang
opung dulunya, ketika anak-anaknya masih kecil, mungkin tidak pernah mau
menggendong anak-anaknya, tapi ketika cucu-cucunya lahir, dia rela menggendong
sambil menyuapi cucunya makan, dan terkadang membujuk cucunya dengan makanan, permen
dan coklat yang mahal-mahal demi menyenangkan hati cucunya, meskipun dia
sendiri terkadang kekurangan uang.
Aku beruntung mempunyai opung yang
sangat menyayangiku, bahkan aku merasa diantara semua cucu-cucunya, akulah yang
paling diistimewakan, aku tidak tahu kenapa di matanya aku begitu sangat
istimewa.
Banyak kenanganku tentangnya, dan
yang paling ku ingat, setiap kali dia gajian pensiun, orang pertama yang selalu
diingatnya begitu melihat lembaran uang rupiah ada ditangannya, hanyalah aku. Dari
situ dia langsung pergi ke toko baju untuk membelikanku baju.
Besoknya selesai sholat subuh, dengan
sepeda kesayangannya, dia datang kerumah kami. Opung suka bersepeda, kemana-mana
selalu bersepeda, katanya sepeda itu menyehatkan untuk menghilangkan segala lemak-lemak
ditubuh, tak perlu diet jika ingin kurus, cukup bersepeda saja.
Ketika tiba dirumah, dia langsung membangunkan
papa dan mama sambil berteriak-teriak diluar, seolah-olah dia seperti tak sabar
ingin segera menunjukkan hadiahnya padaku.
"Aini...! Opung bawa baju baru
untukmu..!" teriak opung.
Sedangkan aku masih tertidur pulas.
Opung juga seorang penata rambut
yang handal. Bila dilihatnya rambutku sudah panjang, maka dia langsung
memangkasnya. Meskipun hasil pangkasannya sering membuatku menangis, karena aku
jadi bahan ejekan abang, dan adikku, juga teman-temanku. Kata mereka pangkasku
seperti pangkas ‘batok’, tempurung batok yang diletakkan diatas kepalaku saat memangkas
rambutku, itu kata mereka saking jeleknya hasil pangkasan opung.
Opung juga seorang pencari kutu
yang penuh titi teliti, tak ada satu ekor kutu dikepalaku yang lolos dari tangkapannya.
Walaupun ketika mencarinya dia harus memakai kacamata tebal, setebal pantat botol.
Ketika aku mulai memasuki tahun pertama
sekolah, dia juga yang membelikanku buku-buku, pensil, penghapus, kotak pensil
serta pensil warna yang baru, dan dia juga yang menyampul semua buku-bukuku. Sambil
menyampuli bukuku, dia bercerita padaku.
"Ini cucu Opung mesti jadi
orang hebat dan pintar, ya... Meskipun cucu Opung cuma perempuan satu-satunya,
tapi jangan kalah sama abang dan adik laki-lakimu. Gak boleh cengeng, perempuan
batak gak ada yang cengeng," kata opung.
Bila opung sedang bepergian dengan
opung perempuanku, opung selalu mengajakku. Kalau papaku tidak mengizinkanku dibawa
olehnya, opung akan marah dan sakit hati, kemudian merajuk tidak akan mau datang-datang
kerumah kami, sebelum papa meminta maaf padanya dengan membawaku berkunjung kerumahnya,
dan aku dijadikan senjata pamungkas papa untuk meluluhkan hati opung.
Opung sebenarnya sosok laki-laki
yang keras dan ditakuti, bila marah suara bentakannya bisa terdengar beberapa
meter, saking keras dan kuatnya nada oktaf suaranya. Sembilan anak-anaknya dan
istrinya takut, tunduk, dan patuh pada perintahnya. Perintah opung bagaikan
titah seorang raja, tidak ada seorangpun yang berani membantahnya kalau tidak
ingin melihatnya murka.
Bila dia sedang makan, tidak ada seorangpun
yang boleh masuk kedalam ruang makan. Baginya makan adalah kenikmatan
tersendiri, makanya tidak ada yang boleh mengganggunya. Yang bisa masuk keruang
makan ketika dia sedang makan hanyalah aku seorang.
Ketika opung lagi makan, aku dengan
seenaknya mau masuk keruang makan, tapi buru-buru dilarang oleh bou-bou dan uda-udaku,
tutur panggilanku untuk anak-anaknya. Aku yang masih anak-anak tidak peduli
dengan larangan itu, aku malah tetap menyelonong masuk. Seketika itu wajah bou-bou
dan uda-udaku pucat pasi karena ketakutan. Mereka takut kalau nanti mereka yang
akan disalahkan karena membiarkanku masuk keruang makan, ketika opung sedang
makan.
Diluar dugaan opung yang lagi makan
ditemani opung perempuan melihatku yang mengintip dari balik pintu, opung
memanggilku.
"Sini Inang, sini makan sama Opung,”
kata opung.
Inang adalah panggilan sayang untuk
anak perempuan suku batak.
Akupun berjalan mendekati meja makan,
dan aku didudukkannya diatas meja disamping piring makannya. Semua bou dan
udaku juga opung perempuan terkejut, karena opung tidak marah. Opung juga tidak
marah meskipun selama makan aku lebih banyak mengganggunya daripada makan. Aku
terus-terusan memindahkan semua makanan yang ada di piringku kepiringnya, kemudian
kembali memindahkan semua makanan dipiringnya kepiringku. Berulang-ulang aku
buat seperti itu, sedikitpun tidak ada rona kemarahan diwajahnya, bahkan dia
memakan semua makanan yang ada dipiringnya, meskipun makanan dipiringnya sudah ku
aduk-aduk. Meja makan dan lantai penuh dengan taburan nasi yang aku tebar-tebarkan.
Opungku orang yang temperamental, sifatnya ini menurun padaku, tapi bila
melihatku hatinya bisa mendingin dan selembut salju. Tak pernah sekalipun dia memarahiku
karena tingkah lakuku.
Opung seorang pegawai negeri yang
bekerja di kantor gubernur bagian kepala keuangan, Opung orang yang sangat
jujur. Aku tahu dia sangat jujur, karena ketika dia pensiun, tidak berapa lama
bou Sarah keluar dari sekolah tempatnya sekolah. Karena opung tidak punya uang
dan tidak punya tabungan untuk bisa membayar uang sekolah anaknya. Padahal
ketika dia bekerja sebagai kepala keuangan di kantor gubernur, dia bisa
mempunyai banyak kesempatan untuk mendapatkan uang yang tidak halal, seperti
yang dilakukan oleh teman-teman sekantornya, tapi opung tidak mau
melakukannya. Papa pernah bilang padaku, kalau opung selalu memberi nasehat
pada papa, dan nasehatnya itu sampai sekarang selalu ku ingat. Dan sampai
sekarang nasehatnya itulah yang membuatku untuk selalu tetap memertahankan
sebuah kejujuran, sepahit apapun kehidupan ini.
‘Jangan pernah sedikitpun atau
terniat di hatimu untuk mengambil sesuatu yang bukan hakmu, meskipun itu
sebesar peniti’.
Opung suka membaca surat kabar harian
di ruang tamu sambil mengisap cerutu dan minum teh kelat tanpa gula, minuman kesukaannya.
Kesukaan opung ini menular padaku, tapi aku masih pakai gula meskipun sedikit.
Ini yang sering menyebabkan mama marah padaku. Kata mama, opung sakit ginjal
karena sering minum teh terlalu kelat atau kental. Tapi sebenarnya aku sedikit meragukan
dengan apa yang dikatakan mama, karena sampai sekarang aku belum pernah membuktikan
kebenaran kata-kata mama pada dokter manapun. Dengan pipa rokoknya opung
mengisap cerutu kesukaannya, aroma ini menjadi aroma khas opung. Karena setiap kali
aku didekatnya aroma tubuh opung bau cerutu. Dahulu aku suka memainkan pipa
rokok opung dengan berlagak dan bergaya meniru gaya opung mengisap pipa rokoknya.
Opung berperawakan tinggi besar,
postur tubuhnya persis seperti orang bule. Mungkin ini juga yang membuatku
selalu suka melihat pria berperawakan tinggi besar, karena terobsesi dengan
opung, hehe... Dahi opung lebar, menandakan kalau dia orang yang pintar,
wajahnya juga sangat tampan dengan rahangnya yang keras, rahang ciri-ciri
kebanyakan suku batak pada umumnya. Opung pintar matematika dan jago dalam
bidang accounting, kalau yang ini tidak menurun padaku, aku terlalu lemot kalau
soal matematika.
Suatu hari opung mulai jatuh sakit
ketika aku masih duduk dikelas 3 sekolah dasar. Waktu mulai sakit dan belum
dibawa kerumah sakit, aku masih sempat ikut-ikutan begadang menjaganya, bersama
bou-bou dan uda-udaku, kebetulan pada waktu itu aku lagi libur sekolah. Seperti
biasa setiap libur sekolah opung selalu mengajakku menginap dirumahnya.
Selama sakit opung selalu merasa
kepanasan dan terus-terusan berkeringat, setiap 5 menit wajah dan badannya
harus dilap karena keringat yang sangat banyak. Tapi bou-bouku yang tertidur
dibawah, disamping tempat tidurnya terkadang tidak terbangun karena kelelahan
menjaga siang dan malam. Ketika opung memanggil mereka untuk mengelap
keringatnya, mereka tidak terbangun. Aku yang juga tidur disitu merasa iba
melihat penderitaan opung, dan entah mengapa aku tak bisa tidur melihat opung yang
seperti tersiksa dengan rasa panas dan keringatnya, aku segera bangkit dan
mengelap keringatnya. Opung yang merasakan ada tangan mungil yang sedang mengelap
keringatnya, menyadari kalau yang mengelap keringatnya adalah aku.
"Ini Aini cucu Opung?"
tanya opung.
"Iya Opung," jawabku.
"Kenapa belum tidur, Nang? Sudah
jam berapa ini?" tanya opung.
"Jam 3 malam, Pung," jawabku.
"Mana boumu?" tanya opung.
"Bou tertidur, Pung. Bou
kecapekan," jawabku.
"Iya, Boumu kecapekan, tapi
cucu Opung harus tidur, sayang," kata opung.
"Aini kasihan melihat Opung
yang kepanasan dan berkeringat," kataku.
Opung tertawa kecil, mungkin dia
merasa bahagia atau senang mendengar ucapanku yang perhatian padanya. Sambil
terus mengelap keringatnya, aku mendengarkan nasehatnya, ternyata itulah pesan
terakhirnya padaku sebelum opung besoknya dibawa kerumah sakit.
"Aini..., nanti kalau sudah
besar harus bisa jadi perempuan seperti mamamu, ya... Mamamu itu perempuan
hebat dan kuat, sambil bekerja dia masih bisa mengurus anak-anaknya, suaminya
juga mengurus Opung,Bou-boumu serta Uda-udamu, padahal Opung cuma mertuanya.
Mamamu juga masih sempat lagi kuliah. Padahal Opung tahu, Mamamu itu capeknya
luar biasa, tapi mamamu itu perempuan yang sangat tegar, pintar dan baik hati.
Hatinya tulus, meskipun terkadang Opung sering menyakiti hati mamamu."
Mama dulu bukanlah menantu pilihan
opung, tapi papa bersikeras untuk tetap menikahi mama.
"Aini harus bisa jadi
perempuan hebat dan kuat seperti mamamu, ya..." kata opung.
"Iya, Pung.." sahutku.
"Sekarang Aini tidur, bangunkan
saja boumu, gak baik anak-anak tidur larut malam, sebelum tidur cium dulu pipi Opung,
ya..." kata opung.
"Iya, Pung."
Akupun mencium pipi opung, sambil
berkata.
"Aini sayang, Opung."
"Opung juga sayang Aini.
Ainilah satu-satunya cucu kesayangan Opung, karena dimata Opung, Aini
berbeda."
Dan itulah percakapan terakhirku
dengannya.
Keesokkan harinya opung dibawa
kerumah sakit, opung di rumah sakit hanya 3 minggu. Dan selama di rumah sakit, opung
selalu memanggil-manggil namaku, dan mengatakan kalau aku yang mengelap
keringatnya selama dia sakit waktu masih di rumah. Setiap aku meminta ikut kerumah
sakit, papa tidak pernah mengizinkan, karena kata papa anak-anak tidak baik
kerumah sakit. Karena rumah sakit sarang penyakit dan sumber penyakit. Hingga
menjelamg ajalnya opung masih berharap ingin bisa melihatku untuk terakhir
kalinya, tapi tak pernah bisa terwujud. Ternyata percakapanku malam itu dengannya,
merupakan percakapan dan pertemuan terakhir kami.