Selasa, 26 Agustus 2014

SENJA DI KUBURAN

SENJA DI KUBURAN
Angin bertiup lirih namun mampu meluruhkan beberapa helai daun tua terlepas dari rantingnya. Sepi, hening namun terasa damai dihati ketika perlahan-lahan kakiku melangkah memasuki tanah areal perkuburan. Hanya ada satu atau dua orang yang melintas di jalan areal perkuburan. Kalau sudah tidak lagi menjelang puasa dan lebaran, perkuburan ini menjadi benar-benar sepi. Tanah perkuburan ini kembali ramai hanya bila ada yang baru meninggal.
Sudah cukup lama aku tidak berkunjung kemari. Aku sengaja menghindari berkunjung kemari hanya karena aku ingin menjaga hatiku agar tidak terluka lagi, bila mengingat betapa sakitnya hatiku ketika kehilangannya. Ingatanku kembali melayang ke masa silam, masa saat-saat tubuh orang yang paling aku cintai diusung di dalam keranda mayat memasuki areal perkuburan. Disaat keranda mayat memasuki perkuburan dan mulai mendekati liang lahat kuburannya, hatiku semakin tak kuasa menahan sesak di dada. Rasanya aku ingin teriak sekuat-kuatnya, ingin protes pada Allah. Mengapa dia, seseorang yang terbaik di dalam hidupku telah diambil-Nya begitu saja dalam sekelip mata. Menghancurkan semua harapan dan impian-impianku hingga tak bersisa.
Semerbak aroma bunga kamboja menyapa ramah hidungku ketika kakiku semakin mendekati pusaranya. Di dekat pusaranya tumbuh bunga kamboja yang dulu sengaja ku tanam untuk melindungi pusaranya dari panas, walau aku tahu itu sebenarnya tidak bisa melindungi pusaranya seutuhnya. Saat itu aku hanya berpikir ingin membalas semua ketulusannya yang senantiasa menjaga dan melindungiku dengan tulus tanpa pamrih, karena cintanya yang luar biasa.
Aku duduk disisi pusaranya, kulihat di batu nisan, nama yang bertuliskan namanya mulai memudar karena tertutup debu dan kotoran-kotoran lumpur. Mungkin akibat percikan-percikan air hujan yang menerpa tanah pusaranya. Ku usap dan kubersihkan nisannya dengan saputangan. Saat itu aku membayangkan seolah-olah aku sedang mengusap keringat di wajahnya yang dulu biasa ku lakukan ketika tiba-tiba sifat kekanakannya muncul ingin bermanja-manja padaku, dengan memintaku untuk mengusap keringat diwajahnya. Dengan senang hati ku lakukan semua itu atas dasar rasa cinta, rasanya aku rela melakukannya berulang kali walau 1000 tahun lamanya. Senyum manis di wajah tampannya semakin menambah pesonanya dimataku, ketika dia tersenyum menatapku yang sedang mengusap keringat diwajahnya.
“Hai sayang.., apa kabar kamu hari ini?” sapaku, seolah-olah dirinya masih hidup. “Maafkan aku sudah lama sekali tidak mengunjungimu. Tapi meskipun aku tidak pernah mengunjungi rumahmu, doa-doaku selalu sampai kepadamu, kan? Meskipun aku tidak lagi serajin dulu mengunjungimu, tapi namamu selalu ada di dalam setiap doa-doaku. Aku sengaja menghindari mengunjungimu kemari hanya ingin untuk mencoba belajar melupakanmu. Karena bagiku kamu adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk kumiliki meski hatiku selalu memilihmu. Terkadang aku masih merindukanmu ketika kesepian datang menderaku, seperti saat ini. Ketika hidup begitu terasa sangat pahit dan menyakitkan dan aku merasa sendirian karena aku harus menyimpan rapat-rapat semua masalahku, dan tidak ada seorang yang boleh tau, terkecuali Allah dan kamu..” aku mengusap airmataku menahan pedihnya sakit di dada.
Sambil membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh diatas pusaranya, aku terus bercerita.
“Sayang…, kamu benar. Hidup ini memang banyak intrik-intrik kotor. Kita berbuat baik pada seseorang belum tentu dibalas dengan kebaikan. Kita bersikap jujur pada seseorang, belum tentu dibalas dengan kejujuran. Kita berbuat baik dengan niat yang baik, belum tentu dianggap baik, bahkan mereka cenderung menghakimi. Sayang…, dulu aku benci dengan semua kehidupan ini! Terlalu banyak orang-orang yang ku sayangi menjadi pengkhianat di dalam hidupku. Ketika aku dengan tulus tanpa pamrih menyayangi mereka, tapi yang kuterima hanyalah sebuah pengkhianatan dan penghinaan. Kenapa mereka tidak seperti kamu??? Tapi, ternyata dari semua kepahitan hidup yang aku terima, aku mendapat pelajaran berharga dari Allah, guru terbaikku. Ternyata Allah hanya menginginkanku untuk memperbaiki akhlakku karena Allah mencintaiku. Seperti yang dulu kamu inginkan, agar aku mau merubah sifat-sifat dan watak burukku. Sayang… aku merindukanmu…”
Aku terisak sambil memeluk pusaranya.
“Sayang… lihat penampilanku sekarang. Aku sudah mengenakan jilbab, aku sudah menutup semua auratku, seperti yang kamu inginkan dahulu. Tapi kamu jangan marah, ya… kalau aku masih tetap suka difoto, itu karena gara-gara kamu dulu suka memotretku. Kan, kamu yang mengajariku bagaimana bergaya di depan kamera ala model papan atas, hehehe..” aku tertawa kecil kalau ingat dahulu aku dan dia suka bertingkah gila-gilaan. Memotretku dan memintaku berpose dan bergaya seperti model papan atas, dan dia dengan kameranya terus membidik wajahku. “Sayang…sekarang kalau mau narsis gak perlu pakai kamera lagi, cukup pakai hp. Hp zaman kita dulu belum ada kamera, kalau sekarang udah canggih. Bahkan hp sekarang udah bisa dibuat untuk memotret segala macam momen yang kamu inginkan dan hasilnya sama persis dengan kamera yang kamu miliki dahulu, bahkan jauh lebih bagus dari kamera canon dan nikonmu. Tapi kalau mau kamera yang hasilnya sebagus seperti kameramu, hpnya harus mahal… Seperti merk Samsung dan Apple. Terkadang aku berkhayal, seandainya kamu masih hidup, aku yakin, kamu pasti sudah akan mengkoleksi semua barang-barang mahal itu. Karena kamu dan aku sama… sama-sama menyukai barang-barang gadget. Dan sudah pasti aku akan meminjam semua barang-barang gadgetmu itu, karena aku tidak mampu untuk membelinya, hanya kamu yang mampu membelinya, hehehe… Mungkin kamu tidak akan meminjamkannya padaku, tapi akan membelikannya untukku sebagai hadiah ulang tahunku, seperti yang dahulu biasa kamu lakukakan ketika aku berulang tahun. Kamukan selalu memberi kejutan-kejutan yang indah buatku, membelikan sesuatu yang aku idamkan tanpa sepengetahuanku. Dan aku selalu menyukai semua kejutan-kejutan itu. Hanya satu kejutan darimu yang tidak aku sukai dan paling aku benci, yaitu kejutan ketika kamu pergi meninggalkanku untuk selamanya…”
Aku mengusap airmataku yang menetes dengan punggung tanganku ketika mengingat peristiwa di Minggu pagi yang kelabu.
“Sayang… jika suatu hari nanti aku bertemu seseorang yang dipilihkan Allah untukku yang selalu aku minta di dalam doa-doaku, aku harap kamu jangan marah, ya… Karena aku akan merahasiakan semua tentangmu darinya, dan mungkin aku tidak akan lagi mengunjungi rumahmu. Tapi percayalah… aku akan terus mendoakanmu karena kamu satu-satunya sahabat terbaik di dalam hidupku dan sangat berarti di dalam hidupku. Karena kamu banyak mengajariku bagaimana cara mencintai dan menyayangi dengan tulus tanpa pamrih, dan mengajariku bagaimana membedakan cinta yang benar-benar tulus dan mana cinta yang berlandaskan nafsu semata. Aku akan menutup rapat-rapat semua kisah tentang kita darinya. Aku menutupinya agar dia tak merasa kalau aku tak sungguh-sungguh mencintainya. Dan aku tak ingin dia merasa kamu adalah bayang-bayang yang selalu menghantui cinta kami. Aku hanya ingin menghargai dan menghormatinya kalau hanya dia seorang satu-satunya yang terbaik di dalam hidupku setelah kamu.”
Aku terdiam sejenak.
“Sayang… kamu tau, ada lagu bagus. Lagu itu lagu kesukaanku, karena kata-kata dari lagu itu seperti kisah kita. Seandainya kamu masih hidup, pasti kamu menyukainya juga. Dan aku yakin itu akan menjadi lagu kebangsaan kita dan menjadi lagu wajib kita setiap kita merayakan hari pertemuan kita, dimana pertama kali aku dan kamu bertemu, 11 Januari. Ya, judul lagu itu 11 Januari. Sebentar ya! aku akan memutarnya, aku ada menyimpan Mp3 lagu itu di BBku. Kamu tau BB? Hahaha…Pasti kamu gak tau… BB itu singkatan dari BlackBerry, ini hp smartphone, aku bisa buka internet dari sini. dan aku juga bisa berfoto narsis dari sini juga, hehehe..” kataku sambil berbisik. Dan BB ini juga berfungsi bisa sebagai notes buatku jika tiba-tiba aku menemukan ide dari novel-novel yang aku tulis. Oh, ya! aku lupa bilang sama kamu kalau sekarang aku sudah mulai merintis sebagai penulis novel meskipun belum ada novelku yang di terima sama penerbit. Tapi aku akan terus berjuang dan berusaha agar semua novel-novelku diterbitkan. Seperti katamu, aku tidak boleh mudah berputus asa. Aku juga ada menuliskan kisah kita di novelku, dan itu salah satu cerita novel favouriteku. Karena ketika aku menuliskan kisah kita, aku seolah-olah seperti masuk kedalam mesin waktu dengan mundur kembali kebelakang, kemasa-masa bahagia dahulu, masa-masa saat masih bersamamu. Ok, sekarang kamu dengarkan lagunya ya…, kamu pasti suka. Karena aku tau, selera kamu dan aku selalu sama dalam soal musik. Mulai dari Savage Garden, Boyzone, Anton Juwono, Kenny G, Julio Iglesias.”
Kemudian aku meletakkan BBku di samping batu nisannya dan lagu 11 Januari dari group musik GIGI mengalun lembut dengan nada pelan. Aku sengaja mengecilkan volumenya, karena aku pikir tidak etis memutar lagu kencang-kencang di kuburan ini. Aku duduk di sisi kuburannya sambil menatap batu nisannya, seolah-olah aku sedang menatap wajahnya yang sedang tersenyum bahagia mendengar lagu itu. Aku membayangkan ekspresi wajahnya ketika mendengarkan lagu itu, bibirnya akan tersenyum dan mata coklat teduhnya akan menatapku dengan tatapan binar-binar kasih sayang yang tulus.
“Sayang… sepertinya aku harus pulang sekarang. Karena hari sudah mulai maghrib, aku takut kemalaman di jalan,” kataku ketika lagu di BBku sudah berhenti berputar. “Dulu kamu selalu marah jika aku pulang malam, makanya sekarang aku harus pulang. Katamu, diluar sana banyak pria srigala berbulu domba.”
Aku mengusap-usap batu nisannya, seolah-olah aku sedang membelai-belai rambut coklatnya.
“I love you… you’re just the best friend in my life..”
Kemudian aku bangkit dari dudukku dan perlahan-lahan mulai berjalan menunju keluar areal pemakaman. Aku berjalan dengan langkah gemulai dan perasaan sepi mulai kembali menjalari hatiku, airmataku menetes kembali. Tiba-tiba aku merasa seolah-olah dia seperti sedang menatapku dari kejauhan di atas kuburannya. Aku menoleh ke belakang, dan hatiku merasa dia sedang tersenyum menatapku dengan tatapan sendu, sambil berkata kepadaku,
”Sabarlah sayang… semuanya akan indah pada waktunya. Kebahagiaan itu akan kamu jelang. Aku bahagia bila melihatmu bahagia, dan aku bersedih bila melihat hatimu terluka.”