SENJA
DI KUBURAN
Angin bertiup lirih namun mampu meluruhkan beberapa
helai daun tua terlepas dari rantingnya. Sepi, hening namun terasa damai dihati
ketika perlahan-lahan kakiku melangkah memasuki tanah areal perkuburan. Hanya
ada satu atau dua orang yang melintas di jalan areal perkuburan. Kalau sudah
tidak lagi menjelang puasa dan lebaran, perkuburan ini menjadi benar-benar sepi.
Tanah perkuburan ini kembali ramai hanya bila ada yang baru meninggal.
Sudah cukup lama aku tidak berkunjung kemari. Aku
sengaja menghindari berkunjung kemari hanya karena aku ingin menjaga hatiku
agar tidak terluka lagi, bila mengingat betapa sakitnya hatiku ketika
kehilangannya. Ingatanku kembali melayang ke masa silam, masa saat-saat tubuh
orang yang paling aku cintai diusung di dalam keranda mayat memasuki areal
perkuburan. Disaat keranda mayat memasuki perkuburan dan mulai mendekati liang
lahat kuburannya, hatiku semakin tak kuasa menahan sesak di dada. Rasanya aku
ingin teriak sekuat-kuatnya, ingin protes pada Allah. Mengapa dia, seseorang
yang terbaik di dalam hidupku telah diambil-Nya begitu saja dalam sekelip mata.
Menghancurkan semua harapan dan impian-impianku hingga tak bersisa.
Semerbak aroma bunga kamboja menyapa ramah hidungku
ketika kakiku semakin mendekati pusaranya. Di dekat pusaranya tumbuh bunga
kamboja yang dulu sengaja ku tanam untuk melindungi pusaranya dari panas, walau
aku tahu itu sebenarnya tidak bisa melindungi pusaranya seutuhnya. Saat itu aku
hanya berpikir ingin membalas semua ketulusannya yang senantiasa menjaga dan
melindungiku dengan tulus tanpa pamrih, karena cintanya yang luar biasa.
Aku duduk disisi pusaranya, kulihat di batu nisan,
nama yang bertuliskan namanya mulai memudar karena tertutup debu dan
kotoran-kotoran lumpur. Mungkin akibat percikan-percikan air hujan yang menerpa
tanah pusaranya. Ku usap dan kubersihkan nisannya dengan saputangan. Saat itu
aku membayangkan seolah-olah aku sedang mengusap keringat di wajahnya yang dulu
biasa ku lakukan ketika tiba-tiba sifat kekanakannya muncul ingin
bermanja-manja padaku, dengan memintaku untuk mengusap keringat diwajahnya.
Dengan senang hati ku lakukan semua itu atas dasar rasa cinta, rasanya aku rela
melakukannya berulang kali walau 1000 tahun lamanya. Senyum manis di wajah
tampannya semakin menambah pesonanya dimataku, ketika dia tersenyum menatapku
yang sedang mengusap keringat diwajahnya.
“Hai sayang.., apa kabar kamu hari ini?” sapaku,
seolah-olah dirinya masih hidup. “Maafkan aku sudah lama sekali tidak
mengunjungimu. Tapi meskipun aku tidak pernah mengunjungi rumahmu, doa-doaku
selalu sampai kepadamu, kan? Meskipun aku tidak lagi serajin dulu
mengunjungimu, tapi namamu selalu ada di dalam setiap doa-doaku. Aku sengaja
menghindari mengunjungimu kemari hanya ingin untuk mencoba belajar melupakanmu.
Karena bagiku kamu adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk kumiliki meski
hatiku selalu memilihmu. Terkadang aku masih merindukanmu ketika kesepian datang
menderaku, seperti saat ini. Ketika hidup begitu terasa sangat pahit dan
menyakitkan dan aku merasa sendirian karena aku harus menyimpan rapat-rapat
semua masalahku, dan tidak ada seorang yang boleh tau, terkecuali Allah dan
kamu..” aku mengusap airmataku menahan pedihnya sakit di dada.
Sambil membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh
diatas pusaranya, aku terus bercerita.
“Sayang…, kamu benar. Hidup ini memang banyak
intrik-intrik kotor. Kita berbuat baik pada seseorang belum tentu dibalas
dengan kebaikan. Kita bersikap jujur pada seseorang, belum tentu dibalas dengan
kejujuran. Kita berbuat baik dengan niat yang baik, belum tentu dianggap baik,
bahkan mereka cenderung menghakimi. Sayang…, dulu aku benci dengan semua
kehidupan ini! Terlalu banyak orang-orang yang ku sayangi menjadi pengkhianat
di dalam hidupku. Ketika aku dengan tulus tanpa pamrih menyayangi mereka, tapi
yang kuterima hanyalah sebuah pengkhianatan dan penghinaan. Kenapa mereka tidak
seperti kamu??? Tapi, ternyata dari semua kepahitan hidup yang aku terima, aku
mendapat pelajaran berharga dari Allah, guru terbaikku. Ternyata Allah hanya
menginginkanku untuk memperbaiki akhlakku karena Allah mencintaiku. Seperti yang
dulu kamu inginkan, agar aku mau merubah sifat-sifat dan watak burukku. Sayang…
aku merindukanmu…”
Aku terisak sambil memeluk pusaranya.
“Sayang… lihat penampilanku sekarang. Aku sudah
mengenakan jilbab, aku sudah menutup semua auratku, seperti yang kamu inginkan
dahulu. Tapi kamu jangan marah, ya… kalau aku masih tetap suka difoto, itu
karena gara-gara kamu dulu suka memotretku. Kan, kamu yang mengajariku
bagaimana bergaya di depan kamera ala model papan atas, hehehe..” aku tertawa
kecil kalau ingat dahulu aku dan dia suka bertingkah gila-gilaan. Memotretku
dan memintaku berpose dan bergaya seperti model papan atas, dan dia dengan
kameranya terus membidik wajahku. “Sayang…sekarang kalau mau narsis gak perlu pakai
kamera lagi, cukup pakai hp. Hp zaman kita dulu belum ada kamera, kalau
sekarang udah canggih. Bahkan hp sekarang udah bisa dibuat untuk memotret
segala macam momen yang kamu inginkan dan hasilnya sama persis dengan kamera
yang kamu miliki dahulu, bahkan jauh lebih bagus dari kamera canon dan nikonmu.
Tapi kalau mau kamera yang hasilnya sebagus seperti kameramu, hpnya harus mahal…
Seperti merk Samsung dan Apple. Terkadang aku berkhayal, seandainya kamu masih
hidup, aku yakin, kamu pasti sudah akan mengkoleksi semua barang-barang mahal
itu. Karena kamu dan aku sama… sama-sama menyukai barang-barang gadget. Dan sudah
pasti aku akan meminjam semua barang-barang gadgetmu itu, karena aku tidak
mampu untuk membelinya, hanya kamu yang mampu membelinya, hehehe… Mungkin kamu
tidak akan meminjamkannya padaku, tapi akan membelikannya untukku sebagai hadiah
ulang tahunku, seperti yang dahulu biasa kamu lakukakan ketika aku berulang
tahun. Kamukan selalu memberi kejutan-kejutan yang indah buatku, membelikan
sesuatu yang aku idamkan tanpa sepengetahuanku. Dan aku selalu menyukai semua
kejutan-kejutan itu. Hanya satu kejutan darimu yang tidak aku sukai dan paling aku
benci, yaitu kejutan ketika kamu pergi meninggalkanku untuk selamanya…”
Aku mengusap airmataku yang menetes dengan punggung
tanganku ketika mengingat peristiwa di Minggu pagi yang kelabu.
“Sayang… jika suatu hari nanti aku bertemu seseorang
yang dipilihkan Allah untukku yang selalu aku minta di dalam doa-doaku, aku
harap kamu jangan marah, ya… Karena aku akan merahasiakan semua tentangmu
darinya, dan mungkin aku tidak akan lagi mengunjungi rumahmu. Tapi percayalah…
aku akan terus mendoakanmu karena kamu satu-satunya sahabat terbaik di dalam
hidupku dan sangat berarti di dalam hidupku. Karena kamu banyak mengajariku
bagaimana cara mencintai dan menyayangi dengan tulus tanpa pamrih, dan mengajariku
bagaimana membedakan cinta yang benar-benar tulus dan mana cinta yang
berlandaskan nafsu semata. Aku akan menutup rapat-rapat semua kisah tentang kita
darinya. Aku menutupinya agar dia tak merasa kalau aku tak sungguh-sungguh
mencintainya. Dan aku tak ingin dia merasa kamu adalah bayang-bayang yang
selalu menghantui cinta kami. Aku hanya ingin menghargai dan menghormatinya
kalau hanya dia seorang satu-satunya yang terbaik di dalam hidupku setelah
kamu.”
Aku terdiam sejenak.
“Sayang… kamu tau, ada lagu bagus. Lagu itu lagu
kesukaanku, karena kata-kata dari lagu itu seperti kisah kita. Seandainya kamu
masih hidup, pasti kamu menyukainya juga. Dan aku yakin itu akan menjadi lagu
kebangsaan kita dan menjadi lagu wajib kita setiap kita merayakan hari
pertemuan kita, dimana pertama kali aku dan kamu bertemu, 11 Januari. Ya, judul
lagu itu 11 Januari. Sebentar ya! aku akan memutarnya, aku ada menyimpan Mp3
lagu itu di BBku. Kamu tau BB? Hahaha…Pasti kamu gak tau… BB itu singkatan dari
BlackBerry, ini hp smartphone, aku bisa buka internet dari sini. dan aku juga
bisa berfoto narsis dari sini juga, hehehe..” kataku sambil berbisik. Dan BB
ini juga berfungsi bisa sebagai notes buatku jika tiba-tiba aku menemukan ide
dari novel-novel yang aku tulis. Oh, ya! aku lupa bilang sama kamu kalau
sekarang aku sudah mulai merintis sebagai penulis novel meskipun belum ada
novelku yang di terima sama penerbit. Tapi aku akan terus berjuang dan berusaha
agar semua novel-novelku diterbitkan. Seperti katamu, aku tidak boleh mudah
berputus asa. Aku juga ada menuliskan kisah kita di novelku, dan itu salah satu
cerita novel favouriteku. Karena ketika aku menuliskan kisah kita, aku seolah-olah
seperti masuk kedalam mesin waktu dengan mundur kembali kebelakang, kemasa-masa
bahagia dahulu, masa-masa saat masih bersamamu. Ok, sekarang kamu dengarkan
lagunya ya…, kamu pasti suka. Karena aku tau, selera kamu dan aku selalu sama
dalam soal musik. Mulai dari Savage Garden, Boyzone, Anton Juwono, Kenny G,
Julio Iglesias.”
Kemudian aku meletakkan BBku di samping batu
nisannya dan lagu 11 Januari dari group musik GIGI mengalun lembut dengan nada
pelan. Aku sengaja mengecilkan volumenya, karena aku pikir tidak etis memutar
lagu kencang-kencang di kuburan ini. Aku duduk di sisi kuburannya sambil
menatap batu nisannya, seolah-olah aku sedang menatap wajahnya yang sedang
tersenyum bahagia mendengar lagu itu. Aku membayangkan ekspresi wajahnya ketika
mendengarkan lagu itu, bibirnya akan tersenyum dan mata coklat teduhnya akan
menatapku dengan tatapan binar-binar kasih sayang yang tulus.
“Sayang… sepertinya aku harus pulang sekarang. Karena
hari sudah mulai maghrib, aku takut kemalaman di jalan,” kataku ketika lagu di
BBku sudah berhenti berputar. “Dulu kamu selalu marah jika aku pulang malam,
makanya sekarang aku harus pulang. Katamu, diluar sana banyak pria srigala
berbulu domba.”
Aku mengusap-usap batu nisannya, seolah-olah aku
sedang membelai-belai rambut coklatnya.
“I love you… you’re just the best friend in my life..”
Kemudian aku bangkit dari dudukku dan perlahan-lahan
mulai berjalan menunju keluar areal pemakaman. Aku berjalan dengan langkah
gemulai dan perasaan sepi mulai kembali menjalari hatiku, airmataku menetes
kembali. Tiba-tiba aku merasa seolah-olah dia seperti sedang menatapku dari
kejauhan di atas kuburannya. Aku menoleh ke belakang, dan hatiku merasa dia
sedang tersenyum menatapku dengan tatapan sendu, sambil berkata kepadaku,
”Sabarlah sayang… semuanya akan indah pada waktunya.
Kebahagiaan itu akan kamu jelang. Aku bahagia bila melihatmu bahagia, dan aku
bersedih bila melihat hatimu terluka.”