Senin, 29 Juli 2013

RINDU SEBIRU LANGIT

Kamu tahu, setiap aku membukakan mataku disaat aku terbangun di pagi hari yang damai, disitulah aku berharap bayangan wajahmu tidak melintas di depan bola mataku. Aku berharap semua rindu yang terselip direlung-relung hatiku bisa sirna seketika itu juga. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Hingga detik ini aku masih tak mampu menghapus semua pesona tentangmu. Terkadang aku bertanya pada hatiku, bagaimana mungkin kamu yang mempunyai begitu banyak kekurangan, bisa aku cintai sedemikian rupa? Sedangkan aku adalah sang penuntut kesempurnaan dari setiap orang-orang yang menawarkan cinta kepadaku. Apa karena aku merasa diriku begitu sempurna hingga aku menuntut setiap orang-orang yang datang dalam kehidupanku harus dengan kesempurnaan? Tapi ketika kamu datang, datang dengan segala kekuranganmu yang terkadang membuatku muak, marah, sebel, kesal dan segala sesuatu tingkahmu yang terkadang membuatku menyimpan kemarahan padamu. Dan ketidak sempurnaanmu itu yang membuatku bertekuk lutut.
Pagi ini, ketika hujan turun di pagi hari yang membuatku enggan untuk segera bangkit dari ranjangku. Hingga tanganku yang mulai merasakan dinginnya udara pagi, segera menarik selimut yang menutupi separuh tubuhku untuk segera menutupi seluruh tubuhku, karena aku mulai merasakan tubuhku membeku. Aku melihat tetesan-tetesan embun yang masih melekat di jendela kamarku. Saat yang bersamaan aku juga melihat tetesan-tetesan air hujan yang jatuh dari langit kebumi seperti sebuah kumpulan-kumpulan kristal yang menghujam kebumi. Dan disaat ini seperti biasa rindu masih bertandang di hatiku. Hujan ini membuat rinduku semakin memuncak, apakah ini karena bias dari sisi romantisme yang ada di dalam diriku atau karena aku benar-benar sudah lelah dengan perasaan rindu ini. Rindu yang entah kapan akan menemukan titik jenuhnya dari sebuah penantian yang tak berujung.
Hmmm... hujan, kamu masih ingat cerita tentang hujan? Yang kamu bilang padaku jangan pernah takut pada hujan, karena hujan itu adalah sebuah anugerah yang diturunkan Allah dari langit untuk bumi. Yang wajib kamu takutkan hanyalah bila langit menghitam, angin bertiup kencang. Karena Baginda Rasulullah juga sangat takut pada langit yang menghitam dan angin yang bertiup kencang. Baginda Rasulullah akan segera memanjatkan doa kepada Allah memohon perlindungan. Tapi kemudian aku membantahmu, bukankah tanda-tanda akan turun hujan seperti itu? Langit menghitam, angin bertiup kencang. Kamu membalas bantahanku, kamu katakan, adakalanya langit menghitam dan angin bertiup kencang tetapi bukan tanda-tanda mau hujan tapi itu tanda-tanda seperti mau kiamat, makanya Baginda Rasulullah selalu ketakutan bila langit menghitam angin bertiup kencang. Saat itu aku mentertawakanmu, aku katakan “mana mungkin sekarang kiamat?” Lalu kamu marah padaku, kamu katakan, “tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, karena Allah yang punya Kuasa dan pemilik alam raya ini”. Setelah itu kita saling berbantah-bantahan dan beradu argumen, aku tetap dengan pendapatku dan kamu tetap dengan pendapatmu. Aku yang tidak pernah mau mengakui kekalahan selalu ngotot untuk tetap mempertahankan pendapat dan argumenku. Tapi kamu selalu bilang padaku, sifatku yang keras kepala dan tak mau mengalah, itu yang membuatmu suka padaku. Namun disebalik pujian itu kamu juga menyelipkan sebuah nasehat kepadaku, kalau aku boleh saja terus mempertahankan pendapat dan argumen yang kuanggap benar, tapi alangkah baiknya setiap pendapat dan argumen yang aku pertahankan harus berdasarkan ilmu. Agar aku tidak dianggap oleh orang-orang disekitarku sibodoh yang sok pintar tapi tidak tahu apa yang sedang dipertahankannya. Kemudian kamu berkata lagi, “Kamu perlu lebih banyak belajar lagi tentang agama, ya. Jangan sampai kamu menjadi salah satu orang yang termasuk disebut didalam satu ayat Al Qur’an dan aku lupa ayat keberapa itu, tapi aku pernah membacanya.”
Ah, ingat tentang perdebatan itu membuat rinduku semakin menari-nari. Sampai kapan aku terus begini? Terus hidup dalam bayang-bayangmu. Sedangkan kamu tak tahu dimana rimbanya. Kamu dimana? Masihkah kamu ingat aku? Ingatkah kamu semua kenangan yang pernah kita lalui bersama? Aku selalu ingat setiap detail tentang kamu dan semua kenangan kita. Aku juga ingat setiap detail percakapan yang pernah kita bahas. Aku suka berbicara padamu, karena berbicara padamu membuat fikiranku selalu terbuka. Kamu seperti toko buku online, yang selalu tersedia 24 jam ketika aku membutuhkan sebuah jawaban untuk berbagai pertanyaan. Jahat ya, aku! Menganggap kamu seperti toko buku online ( aku jadi tersenyum ). Tapi kamu jangan marah, jika aku menganggap kamu seperti toko buku online. Itu berarti kamu, aku anggap orang yang pintar punya segudang ilmu.
Kamu tahu, terkadang aku merasa rindu ini sangat menyiksaku, sekaligus aku benci. Benci, karena membuat hidupku jadi nggak karuan. Nggak karuan, karena semenjak mengenalmu aku tidak pernah lagi memikirkan pria lain, selain kamu, aku lebay ya! Kadang-kadang aku juga suka nangis, jika rinduku memuncak. Kenapa aku jadi begini? Sihir apa yang sudah kamu berikan kepadaku, hingga aku tak pernah mampu melupakanmu, walau dalam sedetik.
“Nadia…!”
Tiba-tiba lamunanku tentang kamu menjadi buyar, ketika suara ceprangnya Irfan memanggilku. Aku menggerutu, “Anak ini nggak pernah membuat hidupku tenang”.
“Apa…?!” kataku setengah membentak sambil melongokkan kepalaku keluar dari jendela kamarku yang terletak di lantai atas. Irfan yang mendengar bentakanku cuma bisa nyengir-nyengir kuda sambil melihatku keatas. Untung saja Irfan punya wajah kece, kalau saja wajahnya kayak kecebong, pasti dia sudah sangat mirip sekali dengan kuda, ketika nyengir-nyengir kuda tadi.
“Kamu nggak kuliah hari ini?” tanya Irfan yang dengan santainya duduk nangkring di atas motornya, di depan pagar rumahku di tengah hujan yang sekarang tinggal gerimis.
“Hujan, tau!” jawabku.
“Jadi, kalau hujan kamu malas kuliah?”
“Iya, enakan tidur.”
“Tidur melulu kerjamu. Ntar gemuk, baru kamu tau rasa!”
“Biarin! Kalau aku gemuk, kamu nggak akan bakalan ganggu hidupku lagi,” jawabku sekenanya tanpa memikirkan perasaan Irfan yang bisa saja sakit hati mendengar jawabanku itu. Dan aku masih sempat melihat raut wajahnya sedikit berubah mendengar jawabanku. Kadang-kadang dia sering membuatku kesal, kesal karena selalu mengutit kemana saja aku pergi. Sering aku berfikir, “Ini anak, koq nggak ada capeknya ngikutin aku kemana saja”. Terkadang aku merasa privacyku seperti terganggu, seperti sekarang ini. Namun Irfan juga teman yang baik, dia selalu ada ketika aku membutuhkannya, meskipun terkadang aku sering bersikap ogah-ogahan padanya ketika aku tidak butuh dia.
“Kamu tega ya, sama aku?” tanya Irfan.
“Tega apaan?!” tanyaku masih juga ketus dan cuek dengannya.
“Tega, biarin aku dari tadi di luar kehujanan.”
“Siapa yang suruh kamu datang kemari, hujan-hujan begini. Kamu kurang kerjaan, sih!”
“Kamu mau ikut, nggak?”
“Ikut kemana?!” tanyaku yang masih juga belum menyuruhnya masuk, dan berbicara dengannya seperti kayak di hutan. Berteriak-teriak, aku berteriak dari atas melalui jendela kamarku dan dia di bawah masih di depan pagar rumahku.
“Ikut lihat aku latihan Band, sepulang kuliah nanti,” jawab Irfan.
“Aku ikut….!!!!” Teriakku. Paling suka lihat dia bersama the ganknya, kalau lagi latihan.
“Makanya kuliah!”
“Iya, iya!”
“Aku disuruh masuklah, lama-lama bisa basah semuanya yang bagian dalam ini,” kata Irfan sambil senyum-senyum nakal. Dan aku tahu apa yang dimaksud dia dengan “bagian dalam”.
“Kalau basah digantilah, kalau nggak diganti, bisa jamuran barangmu. Nggak ada lagi cewek yang mau samamu!” jawabku ceplas-ceplos. Aku dan Irfan memang biasa bicara ceplas ceplos seperti itu.
“Nggak punya stock lagi, senuanya basah belum pada kering. Ini saja sudah side A, side B.”
“Ish, jorok! Dah, kamu masuk aja. Biar aku suruh pembantuku buka pintu. Kalau mau minum, minta saja sama pembantuku, aku mandi dulu.”
“Papa-Mama kamu mana?”
“Papa-Mamaku lagi pergi keluar kota sama Adikku. Yang dirumah cuma aku sama pembantu. Abangku dah pergi kuliah dari tadi.” Aku tahu abangku sudah pergi kuliah, karena sebelum berangkat dia masih sempat-sempatnya menggangguku yang lagi tidur. Memang kerjaan dia setiap pagi seperti itu, suka mengisengiku sebelum pergi kuliah. Mungkin sehari saja tak mengisengiku, dia bisa demam. Abangku suka mengisengiku, apalagi kalau aku lagi tidur. Karena setiap dia mengisengiku, aku suka menjerit-jerit kesal padanya. Semakin kuat jeritanku semakin bahagia dia.
“Jadi, cuma kamu sama pembantu yang di rumah, ya?” tanya Irfan lagi sambil senyum-senyum. Tapi kulihat senyumnya, senyum nakal.
“Kenapa?! Jangan macam-macam loe, ya! Apa kamu mau kena bogeman dan jingkanganku?!” jawabku sambil mengancam Irfan.
“Nggak…., aku nggak bakalan macam-macam, cukup satu macam aja. Aku cuma pingin lihat-lihat lantai atas rumahmu aja, sama pingin lihat-lihat isi kamarmu,” jawab Irfan lagi masih dengan senyum isengnya.
“Kalau gitu, kamu nggak usah masuk! Nunggu di teras aja.
“Kejam banget tuan rumahnya.”
Selesai mandi dan berpakaian, aku turun kelantai bawah untuk menemui Irfan. Kulihat Irfan dengan santainya tidur-tiduran di sofa panjang, sambil membaca majalahku yang ada terletak di ruang tamu. Dalam hati aku bergumam “Ini tamu nggak sopan banget, suka-sukanya aja. Kayak rumahnya sendiri dibuatnya”. Di meja tamu kulihat ada 2 cangkir teh dan beberapa buah pisang goreng dan bakwan. Duh, lihat bakwan, aku ingat kamu lagi. Ini cemilan favoritmu. Mengapa kamu tak pernah lepas dari fikiranku?
“Hai, cantik!” seru Irfan ketika melihat aku datang menemuinya.
“Kamu dah sarapan?”
“Sudah, tadi jam 8. Kenapa? Kamu belum sarapan?”
“Ya, belumlah. Kamu datang aja aku baru bangun,” jawabku.
“Lama kali kamu baru sarapan, ini sudah jam 10. Bisa masuk angin kamu, apalagi ini hari dingin. Sekarang, kamu minum aja dulu teh, makan bakwan dan pisang ini, untuk pengganjal perutmu supaya jangan masuk angin. Ntar, sampai kampus kita sarapan lontong yang di depan kampus.”
“Kamu yang bayarin, ya.” jawabku sambil nyengir-nyengir kuda.
“Iya…., aku yang bayarin. Dan setahuku, juga seingatku, kayaknya kamu kalau sama aku memang nggak pernah bayar sendiri kalau makan dan minum,” jawab Irfan.
“Hahahahahaha….” Jawaban Irfan itu membuat tawaku meledak, karena aku memang nggak pernah mau bayar sendiri kalau aku tahu ada dia disekitarku. Bahkan terkadang aku suka kurang ajar, jika aku lagi nongkrong di kantin kampus bersama teman-temanku dan dia tak ada disitu. Tiba-tiba, begitu aku melihat bayangan dia melintas, aku langsung panggil dia. Aku memanggilnya hanya khusus untuk memintanya membayar makananku saja. Pernah juga, aku dan teman-teman lagi nongkrong di sebuah café di plaza, tiba-tiba teman-temanku berbisik padaku kalau dicafe itu ada Irfan. Aku segera mencari tahu dimana posisinya. Dan aku lihat dia sedang duduk disudut café bersama seorang cewek. Waktu aku melihatnya, dia seolah-olah berusaha bersembunyi dari pandanganku, berarti Irfan sudah mengetahui kedatangan kami dicafe itu sedari tadi. Mungkin ketika dia melihat mataku yang sedang jelalatan seperti mencari sesuatu, dia sudah merasa kalau mataku sedang mencarinya. Dan ternyata feelingnya benar. Mungkin hatinya langsung bergumam “Mati aku!”, ketika dilihatnya, aku sedang tersenyum menatap kearahnya. Akupun langung mendekatinya sambil senyum-senyum penuh kemenangan dan penuh kebahagiaan. Bahagia karena uangku nggak bakalan keluar lagi, karena ada Irfan “Sang Bandar”. Akupun langsung mendekati Irfan. Melihat aku datang mendekatinya, Irfan hanya bisa tertawa-tawa. Dia tertawa, karena dia sudah tahu maksud kedatanganku yang pasti meminta dibayarkan makanan kami. Sebelum aku bicara, Irfan langung memanggil pelayan dan segera meminta bill makanan kami pada pelayan. Melihat reaksi Irfan seperti itu aku langsung tertawa dan bertanya padanya sambil tertawa-tawa
“Koq, kamu tahu kalau aku mau minta dibayarin? Emang tampang aku seperti tukang kredit, ya?”
“Nggak, cuma aku bisa bedain aja, mana tampangmu yang mencariku karena ingin curhat dan mana tampangmu yang mencariku karena mau minta dibayarin makanan.”
“Hahaha…” tawaku meledak. Dan aku belum juga siap sampai disitu untuk mengerjainnya. Setelah itu isengku timbul. Dengan tiba-tiba, aku menggandeng tangannya dengan tangan kiriku dan memegang bahu kirinya dengan tangan kananku, akupun melendot manja padanya. Kemudian aku meletakkan daguku kebahunya dan wajahku menghadap ketelinganya, lalu aku berbisik.
“Gebetan barumu, ya? Ini yang keberapa?”
“Hihihi…, nggak tahu yang keberapa ini,” jawabnya sambil berbisik juga, sambil agak memiringkan wajahnya kearahku, sehingga wajahku dan wajahnya sangat dekat sekali.
Dan aku masih sempat melirik kearah ceweknya yang duduk di depan kami, kulihat sinar kecemburuan keluar dari mata cewek itu. Misi isengku berhasil! Membuat cewek itu cemburu.
“Cantikan mana, dia atau aku?”
“Cantikan kamu.”
“Sexian mana, dia atau aku?”
“Sexian kamu.”
“Kalau aku menciummu di depan cewekmu, kamu mau?” tanyaku iseng lagi masih berbisik di telinganya.
“Mau, mau, mau!” seru Irfan dengan spontan hampir setengah berteriak, membuat ceweknya semakin tajam tatapan matanya kearah kami. Sedangkan teman-temanku yang duduk tidak jauh dari kami sudah tertawa-tawa terbahak-bahak sampai sakit perut melihat kelakuan isengku.
“Apa kamu nggak takut ditampar sama cewekmu, jika aku menciummu di depannya?” tanyaku lagi dengan suara lembut, mendesah menggoda, sambil jari telunjukku mengusap-usap dengan lembut pipi dan jambangnya yang tipis.
“Nggak, aku nggak perduli jika dia menamparku, asalkan aku mendapatkan ciumanmu. Dia nggak berarti apa-apa bagiku,” jawab Irfan, sepertinya dia mulai turn on dengan suara dan sikapku.
“Baik, kamu akan mendapatkan ciumanku, jika kamu sudah resmi menjadi...” aku sengaja menggantung kalimatku untuk membuat Irfan penasaran.
“Resmi menjadi apa? Resmi menjadi pacarmu?” tanya Irfan berbisik, sepertinya dia sudah tak perduli lagi dengan ceweknya yang masih duduk di depannya dengan setia, memperhatikan tingkah kami. Dan ternyata pancinganku berhasil, Irfan penasaran.
“Bukan menjadi pacar, sayang...., tapi suuu… aaa… mi!” kataku seperti mengeja menyebutkan kata “suami”. “Dasar leboy!” kataku. Setelah berkata seperti itu, akupun langsung pergi meninggalkan Irfan yang masih terbengong-bengong kecewa mendengar perkataanku barusan.
Akupun langsung mengajak teman-temanku segera keluar dari café itu, sambil tertawa-tawa sampai sakit perut, karena kebanyakan tertawa.
“Jaket kamu mana? Di luar masih gerimis, ntar kamu kedinginan,” ujar Irfan. Ketika kami bersiap-siap mau pergi.
“Oh, iya. Aku lupa!” jawabku sambil menepuk jidatku sendiri. “Sebentar, aku ambil jaket dulu, ya.”
“Ok, aku tunggu di luar,” jawab Irfan.
Kemudian aku kembali menemuinya dengan jaket sudah terpasang di badanku. Setelah permisi sama pembantuku, kamipun berangkat kekampus dengan motor gedenya Irfan. Aku masih sempat protes sama Irfan ketika kulihat Irfan memakai kacamata hitamnya. Aku bilang buat apa hujan-hujan begini pakai kacamata hitam, kayak orang baru berduka cita saja. Irfan hanya menjawab, biar tetap kelihatan keren dimataku. Kemudian jawabanku “huek!” Irfan tertawa mendengar jawabanku.
Irfan, teman sekampus sekaligus sekelas yang terkenal dengan ke “Playboy”annya, tapi selalu tak bisa berkutik bila di depanku. Entah sudah berapa banyak gadis-gadis yang jatuh kedalam pelukkannya. Namun tak satupun yang berhasil menaklukkan hatinya. 

NB: Ini sepenggalan kisah dari novelku. Bila ingin membaca kelanjutan ceritanya, tunggu saja novelnya terbit, tapi gak tau kapan terbitnya hehehehehe... :p belum tau mau ditujukan kepenerbit mana, masih bingung. Novelnya juga belum selesai ^_^