Kamu tahu, setiap aku membukakan
mataku disaat aku terbangun di pagi hari yang damai, disitulah aku berharap
bayangan wajahmu tidak melintas di depan bola mataku. Aku berharap semua rindu
yang terselip direlung-relung hatiku bisa sirna seketika itu juga. Namun
ternyata, harapan tinggal harapan. Hingga detik ini aku masih tak mampu
menghapus semua pesona tentangmu. Terkadang aku bertanya pada hatiku, bagaimana
mungkin kamu yang mempunyai begitu banyak kekurangan, bisa aku cintai sedemikian
rupa? Sedangkan aku adalah sang penuntut kesempurnaan dari setiap orang-orang
yang menawarkan cinta kepadaku. Apa karena aku merasa diriku begitu sempurna
hingga aku menuntut setiap orang-orang yang datang dalam kehidupanku harus
dengan kesempurnaan? Tapi ketika kamu datang, datang dengan segala kekuranganmu
yang terkadang membuatku muak, marah, sebel, kesal dan segala sesuatu tingkahmu
yang terkadang membuatku menyimpan kemarahan padamu. Dan ketidak sempurnaanmu
itu yang membuatku bertekuk lutut.
Pagi ini, ketika hujan turun di
pagi hari yang membuatku enggan untuk segera bangkit dari ranjangku. Hingga
tanganku yang mulai merasakan dinginnya udara pagi, segera menarik selimut yang
menutupi separuh tubuhku untuk segera menutupi seluruh tubuhku, karena aku mulai
merasakan tubuhku membeku. Aku melihat tetesan-tetesan embun yang masih melekat
di jendela kamarku. Saat yang bersamaan aku juga melihat tetesan-tetesan air
hujan yang jatuh dari langit kebumi seperti sebuah kumpulan-kumpulan kristal
yang menghujam kebumi. Dan disaat ini seperti biasa rindu masih bertandang di
hatiku. Hujan ini membuat rinduku semakin memuncak, apakah ini karena bias dari
sisi romantisme yang ada di dalam diriku atau karena aku benar-benar sudah
lelah dengan perasaan rindu ini. Rindu yang entah kapan akan menemukan titik
jenuhnya dari sebuah penantian yang tak berujung.
Hmmm... hujan, kamu masih ingat
cerita tentang hujan? Yang kamu bilang padaku jangan pernah takut pada hujan,
karena hujan itu adalah sebuah anugerah yang diturunkan Allah dari langit untuk
bumi. Yang wajib kamu takutkan hanyalah bila langit menghitam, angin bertiup
kencang. Karena Baginda Rasulullah juga sangat takut pada langit yang menghitam
dan angin yang bertiup kencang. Baginda Rasulullah akan segera memanjatkan doa
kepada Allah memohon perlindungan. Tapi kemudian aku membantahmu, bukankah
tanda-tanda akan turun hujan seperti itu? Langit menghitam, angin bertiup
kencang. Kamu membalas bantahanku, kamu katakan, adakalanya langit menghitam
dan angin bertiup kencang tetapi bukan tanda-tanda mau hujan tapi itu
tanda-tanda seperti mau kiamat, makanya Baginda Rasulullah selalu ketakutan
bila langit menghitam angin bertiup kencang. Saat itu aku mentertawakanmu, aku katakan
“mana mungkin sekarang kiamat?” Lalu kamu marah padaku, kamu katakan, “tidak
ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, karena Allah yang punya Kuasa
dan pemilik alam raya ini”. Setelah itu kita saling berbantah-bantahan dan
beradu argumen, aku tetap dengan pendapatku dan kamu tetap dengan pendapatmu.
Aku yang tidak pernah mau mengakui kekalahan selalu ngotot untuk tetap
mempertahankan pendapat dan argumenku. Tapi kamu selalu bilang padaku, sifatku
yang keras kepala dan tak mau mengalah, itu yang membuatmu suka padaku. Namun
disebalik pujian itu kamu juga menyelipkan sebuah nasehat kepadaku, kalau aku
boleh saja terus mempertahankan pendapat dan argumen yang kuanggap benar, tapi
alangkah baiknya setiap pendapat dan argumen yang aku pertahankan harus
berdasarkan ilmu. Agar aku tidak dianggap oleh orang-orang disekitarku sibodoh
yang sok pintar tapi tidak tahu apa yang sedang dipertahankannya. Kemudian kamu
berkata lagi, “Kamu perlu lebih banyak belajar lagi tentang agama, ya. Jangan
sampai kamu menjadi salah satu orang yang termasuk disebut didalam satu ayat Al
Qur’an dan aku lupa ayat keberapa itu, tapi aku pernah membacanya.”
Ah, ingat tentang perdebatan itu
membuat rinduku semakin menari-nari. Sampai kapan aku terus begini? Terus hidup
dalam bayang-bayangmu. Sedangkan kamu tak tahu dimana rimbanya. Kamu dimana?
Masihkah kamu ingat aku? Ingatkah kamu semua kenangan yang pernah kita lalui
bersama? Aku selalu ingat setiap detail tentang kamu dan semua kenangan kita.
Aku juga ingat setiap detail percakapan yang pernah kita bahas. Aku suka
berbicara padamu, karena berbicara padamu membuat fikiranku selalu terbuka.
Kamu seperti toko buku online, yang selalu tersedia 24 jam ketika aku
membutuhkan sebuah jawaban untuk berbagai pertanyaan. Jahat ya, aku! Menganggap
kamu seperti toko buku online ( aku jadi tersenyum ). Tapi kamu jangan marah,
jika aku menganggap kamu seperti toko buku online. Itu berarti kamu, aku anggap
orang yang pintar punya segudang ilmu.
Kamu tahu, terkadang aku merasa
rindu ini sangat menyiksaku, sekaligus aku benci. Benci, karena membuat hidupku
jadi nggak karuan. Nggak karuan, karena semenjak mengenalmu aku tidak pernah
lagi memikirkan pria lain, selain kamu, aku lebay ya! Kadang-kadang aku juga
suka nangis, jika rinduku memuncak. Kenapa aku jadi begini? Sihir apa yang
sudah kamu berikan kepadaku, hingga aku tak pernah mampu melupakanmu, walau
dalam sedetik.
“Nadia…!”
Tiba-tiba lamunanku tentang kamu
menjadi buyar, ketika suara ceprangnya Irfan memanggilku. Aku menggerutu, “Anak
ini nggak pernah membuat hidupku tenang”.
“Apa…?!” kataku setengah membentak
sambil melongokkan kepalaku keluar dari jendela kamarku yang terletak di lantai
atas. Irfan yang mendengar bentakanku cuma bisa nyengir-nyengir kuda sambil
melihatku keatas. Untung saja Irfan punya wajah kece, kalau saja wajahnya kayak
kecebong, pasti dia sudah sangat mirip sekali dengan kuda, ketika nyengir-nyengir
kuda tadi.
“Kamu nggak kuliah hari ini?” tanya
Irfan yang dengan santainya duduk nangkring di atas motornya, di depan pagar
rumahku di tengah hujan yang sekarang tinggal gerimis.
“Hujan, tau!” jawabku.
“Jadi, kalau hujan kamu malas
kuliah?”
“Iya, enakan tidur.”
“Tidur melulu kerjamu. Ntar gemuk,
baru kamu tau rasa!”
“Biarin! Kalau aku gemuk, kamu
nggak akan bakalan ganggu hidupku lagi,” jawabku sekenanya tanpa memikirkan
perasaan Irfan yang bisa saja sakit hati mendengar jawabanku itu. Dan aku masih
sempat melihat raut wajahnya sedikit berubah mendengar jawabanku. Kadang-kadang
dia sering membuatku kesal, kesal karena selalu mengutit kemana saja aku pergi.
Sering aku berfikir, “Ini anak, koq nggak ada capeknya ngikutin aku kemana
saja”. Terkadang aku merasa privacyku seperti terganggu, seperti sekarang ini.
Namun Irfan juga teman yang baik, dia selalu ada ketika aku membutuhkannya,
meskipun terkadang aku sering bersikap ogah-ogahan padanya ketika aku tidak
butuh dia.
“Kamu tega ya, sama aku?” tanya
Irfan.
“Tega apaan?!” tanyaku masih juga
ketus dan cuek dengannya.
“Tega, biarin aku dari tadi di luar
kehujanan.”
“Siapa yang suruh kamu datang
kemari, hujan-hujan begini. Kamu kurang kerjaan, sih!”
“Kamu mau ikut, nggak?”
“Ikut kemana?!” tanyaku yang masih
juga belum menyuruhnya masuk, dan berbicara dengannya seperti kayak di hutan.
Berteriak-teriak, aku berteriak dari atas melalui jendela kamarku dan dia di
bawah masih di depan pagar rumahku.
“Ikut lihat aku latihan Band,
sepulang kuliah nanti,” jawab Irfan.
“Aku ikut….!!!!” Teriakku. Paling
suka lihat dia bersama the ganknya, kalau lagi latihan.
“Makanya kuliah!”
“Iya, iya!”
“Aku disuruh masuklah, lama-lama
bisa basah semuanya yang bagian dalam ini,” kata Irfan sambil senyum-senyum
nakal. Dan aku tahu apa yang dimaksud dia dengan “bagian dalam”.
“Kalau basah digantilah, kalau
nggak diganti, bisa jamuran barangmu. Nggak ada lagi cewek yang mau samamu!”
jawabku ceplas-ceplos. Aku dan Irfan memang biasa bicara ceplas ceplos seperti
itu.
“Nggak punya stock lagi, senuanya
basah belum pada kering. Ini saja sudah side A, side B.”
“Ish, jorok! Dah, kamu masuk aja.
Biar aku suruh pembantuku buka pintu. Kalau mau minum, minta saja sama
pembantuku, aku mandi dulu.”
“Papa-Mama kamu mana?”
“Papa-Mamaku lagi pergi keluar kota
sama Adikku. Yang dirumah cuma aku sama pembantu. Abangku dah pergi kuliah dari
tadi.” Aku tahu abangku sudah pergi kuliah, karena sebelum berangkat dia masih
sempat-sempatnya menggangguku yang lagi tidur. Memang kerjaan dia setiap pagi
seperti itu, suka mengisengiku sebelum pergi kuliah. Mungkin sehari saja tak
mengisengiku, dia bisa demam. Abangku suka mengisengiku, apalagi kalau aku lagi
tidur. Karena setiap dia mengisengiku, aku suka menjerit-jerit kesal padanya.
Semakin kuat jeritanku semakin bahagia dia.
“Jadi, cuma kamu sama pembantu yang
di rumah, ya?” tanya Irfan lagi sambil senyum-senyum. Tapi kulihat senyumnya,
senyum nakal.
“Kenapa?! Jangan macam-macam loe,
ya! Apa kamu mau kena bogeman dan jingkanganku?!” jawabku sambil mengancam
Irfan.
“Nggak…., aku nggak bakalan
macam-macam, cukup satu macam aja. Aku cuma pingin lihat-lihat lantai atas
rumahmu aja, sama pingin lihat-lihat isi kamarmu,” jawab Irfan lagi masih
dengan senyum isengnya.
“Kalau gitu, kamu nggak usah masuk!
Nunggu di teras aja.
“Kejam banget tuan rumahnya.”
Selesai mandi dan berpakaian, aku
turun kelantai bawah untuk menemui Irfan. Kulihat Irfan dengan santainya
tidur-tiduran di sofa panjang, sambil membaca majalahku yang ada terletak di
ruang tamu. Dalam hati aku bergumam “Ini tamu nggak sopan banget, suka-sukanya
aja. Kayak rumahnya sendiri dibuatnya”. Di meja tamu kulihat ada 2 cangkir teh
dan beberapa buah pisang goreng dan bakwan. Duh, lihat bakwan, aku ingat kamu
lagi. Ini cemilan favoritmu. Mengapa kamu tak pernah lepas dari fikiranku?
“Hai, cantik!” seru Irfan ketika
melihat aku datang menemuinya.
“Kamu dah sarapan?”
“Sudah, tadi jam 8. Kenapa? Kamu
belum sarapan?”
“Ya, belumlah. Kamu datang aja aku
baru bangun,” jawabku.
“Lama kali kamu baru sarapan, ini
sudah jam 10. Bisa masuk angin kamu, apalagi ini hari dingin. Sekarang, kamu minum
aja dulu teh, makan bakwan dan pisang ini, untuk pengganjal perutmu supaya
jangan masuk angin. Ntar, sampai kampus kita sarapan lontong yang di depan
kampus.”
“Kamu yang bayarin, ya.” jawabku
sambil nyengir-nyengir kuda.
“Iya…., aku yang bayarin. Dan
setahuku, juga seingatku, kayaknya kamu kalau sama aku memang nggak pernah
bayar sendiri kalau makan dan minum,” jawab Irfan.
“Hahahahahaha….” Jawaban Irfan itu
membuat tawaku meledak, karena aku memang nggak pernah mau bayar sendiri kalau
aku tahu ada dia disekitarku. Bahkan terkadang aku suka kurang ajar, jika aku
lagi nongkrong di kantin kampus bersama teman-temanku dan dia tak ada disitu.
Tiba-tiba, begitu aku melihat bayangan dia melintas, aku langsung panggil dia.
Aku memanggilnya hanya khusus untuk memintanya membayar makananku saja. Pernah
juga, aku dan teman-teman lagi nongkrong di sebuah café di plaza, tiba-tiba
teman-temanku berbisik padaku kalau dicafe itu ada Irfan. Aku segera mencari tahu
dimana posisinya. Dan aku lihat dia sedang duduk disudut café bersama seorang
cewek. Waktu aku melihatnya, dia seolah-olah berusaha bersembunyi dari
pandanganku, berarti Irfan sudah mengetahui kedatangan kami dicafe itu sedari
tadi. Mungkin ketika dia melihat mataku yang sedang jelalatan seperti mencari
sesuatu, dia sudah merasa kalau mataku sedang mencarinya. Dan ternyata feelingnya
benar. Mungkin hatinya langsung bergumam “Mati aku!”, ketika dilihatnya, aku
sedang tersenyum menatap kearahnya. Akupun langung mendekatinya sambil
senyum-senyum penuh kemenangan dan penuh kebahagiaan. Bahagia karena uangku
nggak bakalan keluar lagi, karena ada Irfan “Sang Bandar”. Akupun langsung mendekati
Irfan. Melihat aku datang mendekatinya, Irfan hanya bisa tertawa-tawa. Dia
tertawa, karena dia sudah tahu maksud kedatanganku yang pasti meminta
dibayarkan makanan kami. Sebelum aku bicara, Irfan langung memanggil pelayan
dan segera meminta bill makanan kami pada pelayan. Melihat reaksi Irfan seperti
itu aku langsung tertawa dan bertanya padanya sambil tertawa-tawa
“Koq, kamu tahu kalau aku mau minta
dibayarin? Emang tampang aku seperti tukang kredit, ya?”
“Nggak, cuma aku bisa bedain aja,
mana tampangmu yang mencariku karena ingin curhat dan mana tampangmu yang
mencariku karena mau minta dibayarin makanan.”
“Hahaha…” tawaku meledak. Dan aku
belum juga siap sampai disitu untuk mengerjainnya. Setelah itu isengku timbul.
Dengan tiba-tiba, aku menggandeng tangannya dengan tangan kiriku dan memegang
bahu kirinya dengan tangan kananku, akupun melendot manja padanya. Kemudian aku
meletakkan daguku kebahunya dan wajahku menghadap ketelinganya, lalu aku berbisik.
“Gebetan barumu, ya? Ini yang
keberapa?”
“Hihihi…, nggak tahu yang keberapa
ini,” jawabnya sambil berbisik juga, sambil agak memiringkan wajahnya kearahku,
sehingga wajahku dan wajahnya sangat dekat sekali.
Dan aku masih sempat melirik kearah
ceweknya yang duduk di depan kami, kulihat sinar kecemburuan keluar dari mata
cewek itu. Misi isengku berhasil! Membuat cewek itu cemburu.
“Cantikan mana, dia atau aku?”
“Cantikan kamu.”
“Sexian mana, dia atau aku?”
“Sexian kamu.”
“Kalau aku menciummu di depan
cewekmu, kamu mau?” tanyaku iseng lagi masih berbisik di telinganya.
“Mau, mau, mau!” seru Irfan dengan
spontan hampir setengah berteriak, membuat ceweknya semakin tajam tatapan
matanya kearah kami. Sedangkan teman-temanku yang duduk tidak jauh dari kami
sudah tertawa-tawa terbahak-bahak sampai sakit perut melihat kelakuan isengku.
“Apa kamu nggak takut ditampar sama
cewekmu, jika aku menciummu di depannya?” tanyaku lagi dengan suara lembut, mendesah
menggoda, sambil jari telunjukku mengusap-usap dengan lembut pipi dan jambangnya
yang tipis.
“Nggak, aku nggak perduli jika dia
menamparku, asalkan aku mendapatkan ciumanmu. Dia nggak berarti apa-apa
bagiku,” jawab Irfan, sepertinya dia mulai turn on dengan suara dan sikapku.
“Baik, kamu akan mendapatkan
ciumanku, jika kamu sudah resmi menjadi...” aku sengaja menggantung kalimatku
untuk membuat Irfan penasaran.
“Resmi menjadi apa? Resmi menjadi
pacarmu?” tanya Irfan berbisik, sepertinya dia sudah tak perduli lagi dengan
ceweknya yang masih duduk di depannya dengan setia, memperhatikan tingkah kami.
Dan ternyata pancinganku berhasil, Irfan penasaran.
“Bukan menjadi pacar, sayang....,
tapi suuu… aaa… mi!” kataku seperti mengeja menyebutkan kata “suami”. “Dasar
leboy!” kataku. Setelah berkata seperti itu, akupun langsung pergi meninggalkan
Irfan yang masih terbengong-bengong kecewa mendengar perkataanku barusan.
Akupun langsung mengajak
teman-temanku segera keluar dari café itu, sambil tertawa-tawa sampai sakit
perut, karena kebanyakan tertawa.
“Jaket kamu mana? Di luar masih
gerimis, ntar kamu kedinginan,” ujar Irfan. Ketika kami bersiap-siap mau pergi.
“Oh, iya. Aku lupa!” jawabku sambil
menepuk jidatku sendiri. “Sebentar, aku ambil jaket dulu, ya.”
“Ok, aku tunggu di luar,” jawab
Irfan.
Kemudian aku kembali menemuinya
dengan jaket sudah terpasang di badanku. Setelah permisi sama pembantuku,
kamipun berangkat kekampus dengan motor gedenya Irfan. Aku masih sempat protes
sama Irfan ketika kulihat Irfan memakai kacamata hitamnya. Aku bilang buat apa
hujan-hujan begini pakai kacamata hitam, kayak orang baru berduka cita saja.
Irfan hanya menjawab, biar tetap kelihatan keren dimataku. Kemudian jawabanku “huek!”
Irfan tertawa mendengar jawabanku.
Irfan, teman sekampus sekaligus sekelas
yang terkenal dengan ke “Playboy”annya, tapi selalu tak bisa berkutik bila di depanku.
Entah sudah berapa banyak gadis-gadis yang jatuh kedalam pelukkannya. Namun tak
satupun yang berhasil menaklukkan hatinya.
NB: Ini sepenggalan kisah dari novelku. Bila ingin membaca kelanjutan ceritanya, tunggu saja novelnya terbit, tapi gak tau kapan terbitnya hehehehehe... :p belum tau mau ditujukan kepenerbit mana, masih bingung. Novelnya juga belum selesai ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar